Pendidikan Multikultural Sebagai Basis Kemandirian

Lilik Rosida Irmawati

Wawasan multikultural adalah cara memandang masyarakat majemuk secara dewasa dan menjadikan multikulturalitas sebagai modal untuk saling belajar dan memperkuat dalam menghadapi masalah-masalah bersama. Tanpa sikap inklusif ini, maka kemajemukan berkembang menjadi multikulturalisme, sebagaimana dimaksudkan oleh Theodorson (1969, yaitu sikap yang menganggap budaya atau kelompok sendiri lebih unggul secara inheren.. multikulturalisme semacam ini menjadi ancaman bagi masyarakat majemuk.

Masyarakat modern ditandai, salah satunya, dengan meningkatnya human flow (arus manusia), sehingga lama kelamaan semakin sulit menemukan masyarakat monokultur, kecuali pada suku-suku terasing. Human flow, menjadi kekuatan pendorong perkembangan masyarakat, namun juga menjadi pendorong konflik di banyak masyarakat. Tanpa pengelolaan konflik berkembang menjadi kekerasan. Latensi konflik diperparah dengan konsekuensi perbedaan yang ada dalam masyarakat.

Wawasan multikultural semakin penting bagi penguatan daya rekat  di masyarakat. Kehadiran wawasan ini  berdampak menguntungkan bagi peseta didik dan masyarakat jika mengacu pada kualitas dengan tetap memperkuat kecakapan empati peseta didik terhadap warga masyarakat yang berbeda budaya. Muatan-muatan mata pelajaran di sekolah bisa menjadi media bagi berlangsungnya passing over (“menembus batas”). 

Tanpa kesediaan membimbing peseta didik untuk mencapai taraf passing over dalam memahami saudara-saudaranya yang berbeda, pendidikan sekolah akan gagal melahirkan manusia merdeka, yaitu yang berhasil melepaskan diri dari sudut pandang perseteruan dan melihat kehidupan secara lebih obyektif, kritis dan aktif melakukan refleksi atas kegagalan generasi masa lampau. Refleksi ini menjadi penting agar peserta didik menjadi siap untuk mencermati kehadiran dirinya dalam masyarakat yang semakin majemuk.

Tentunya, kemandirian lembaga pendidikan tidak hanya dalam domain pendanaan, melainkan juga di bidang kurikulum. Sampai di tingkat ini persoalan relevansi kurikulum menjadi sorotan utama. Relevansi itu menurut Sukmadinata, meliputi dua hal, yaitu (1) relevansi antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi dan perkembangan masyarakat, dan (2) relevansi antar komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan, serta evaluasi sesuai dengan proses, isi, dan tujuan kurikulum.

Ralph Tyler mengemukakan empat faktor yang menentukan kurikulum, yaitu (1) falsafah bangsa, masyarakat, sekolah, dan guru-guru, (2) harapan dan kebutuhan masyarakat, (3) hakikat anak yang menyangkut taraf perkembangan fisik, mental, psikologis emosional, dan sosial, serta cara-cara belajar anak, dan (4) hakekat pengetahuan atau disiplin ilmu yang terjabar ke dalam bahan pelajaran.

Setiap sekolah mempunyai misi khasnya masing-masing sesuai dengan masyarakat dan sumber daya pendukungnya, sekalipun sebagai bagian dari pendidikan nasional Indonesia, beberapa pokok yang konstitusional harus tetap diperhatikan. Hal-hal pokok yang konstitusional adalah sebagaimana yang di atur   dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Dan perundang-undangan yang relevan.

Mochtar Buchori menyebutkan dua orientasi pendidikan, yaitu maintenance learning yang mengembangkan kemampuan untuk memelihara tatanan yang sudah ada dan innovative learning yang membina kemampuan mencipta tatanan baru guna menjawab persoalan-persoalan baru. Soedjatmoko menegaskan pentingnya  masyarakat belajar sebagai kelompok yang rukun untuk merancang pencapaian sasaran yang tidak termasuk pola kehidupan tradisional dan belajar  sebagai suatu masyarakat untuk melakukan koreksi tepat pada waktunya guna mengubah arah yang ditempuh. 

Dalam hal ini, pendidikan multikultural mengasumsikan bahwa lembaga pendidikan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat  majemuk dan menjadikan kemajemukan itu sebagai modal untuk menopang kemandirian sekolah. Secara sistemik, sekolah-sekolah yang kurang mampu mengorganisir sumber  daya menjadi lembaga yang “disantuni” oleh pemerintah, agar menjadi sekolah-sekolah yang dikelola secara kreatif. Peranan Depdiknas perlu lebih diarahkan untuk menjembatani penyediaan infra struktur bagi sekolah-sekolah. Sementara masalah kebijakan kurikuler  dapat diserahkan kepada suatu dewan sekolah di tiap kota/kabupaten, agar lebih efektif menjawab tantangan kemajemukan.

Wawasan multikultural dijadikan landasan berfikir dalam kerja, hal ini untuk menjawab permasalahan yang diakibatkan oleh perbedaan suku dan budaya yang belum tergarap secara seksama. Pemberdayaan masyarakat untuk hidup berbangsa belum cukup tangguh untuk menghadapi permasalahan konfliktual yang sangat berbahaya. Pendidikan multikultural diharapkan mampu menjawab tuntutan agar peseta didik menjadi melek etnik dan lebih memahami keragaman keyakinan agama, aliran ideologi, dan ras.