Langkah Strategis Pengembangan Pendidikan

Lilik Rosida Irmawati 

Potensi Sumber Daya Alam yang didukung oleh adanya kesediaan Sumber Daya Manusia memungkinkan pengembangan ke arah yang lebih potensial. Tersedianya sumber alam yang banyak serta belum dieksploitasi dan dieksplorasi secara maksimal  akan merugikan banyak pihak apabila dalam pengelolaan maupun pengembangannya dilakukan secara sembrono dan tidak sistematis, karena peluang dan kelonggaran untuk menentukan kebijakan pendidikan serta mengevaluasi pelaksanaan dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki keadaan. 

Badan pendidikan Daerah di Sumenep harus bersungguh-sungguh mengembangkan pendidikan dengan berbagai langkah penataan ulang. Ini tidak hanya menyangkut pengembangan kurikulum dan PBM serta pembinaan suasana dalam hubungan antar pengajar dan siswa, tetapi juga disesuaikan dengan pengembangan wilayah serta penggalangan partisipasi masyarakat.  Kegiatan akademik harus di subsidi, dan juga diusahakan memumpunkan kurikulum dan bahan ajar pada flora dan fauna serta lingkungan setempat, dan pada industri maupun budidaya pertanian, peternakan, perikanan, kelautan di daerah tempat lembaga pendidikan itu berada.

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, tentunya diperlukan langkah-langkah konkrit, strategis dan sistematis yang melibatkan semua unsur serta  komponen lintas sektoral, baik institusi formal maupun informal. Tanggungjawab bersama tersebut tentunya dalam upaya mengembangkan dan mencetak Sumber Daya Manusia yang handal, berkualitas, profesional dalam upaya membangun sebuah peradaban. Adapun langkah-langkah strategis berdasarkan pemaparan potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh kabupaten Sumenep tersebut dapat dicapai melalui :

Demokratisasi Pendidikan
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu strategi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Sumenep bukan hanya sebuah wacana saja, tetapi memerlukan rumusan-rumusan serta formula baru. Karena bagaimanapun perubahan lingkungan politik baru memunculkan harapan sekaligus kegelisahan di kalangan para pengamat dan praktisi pendidikan. Adapun langkah strategis yang perlu dilakukan yaitu dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan.

Perbincangan istilah demokratisasi pendidikan kurang populer dan jarang digunakan dalam perbincangan mengenai pendidikan. Yang lazim digunakan adalah, “pendidikan demokrasi” biasanya dikaitkan dengan berbagai upaya penyadaran warga negara agar tidak bersikap apatis terhadap urusan-urusan politik, melainkan mereka menjadi warga yang melek politik, menjadi individu yang memiliki pengetahuan, sikap Dan keterampilan yang memadai sehingga mampu berperan sebagai warga negara yang bertanggungjawab dalam mewujudkan kehidupan bersama yang demokratis. Istilah itu juga digunakan untuk menunjuk pada upaya untuk menciptakan kultur sekolah agar bernuansa demokratis. 

Kultur semacam itu setidaknya diwarnai oleh adanya sikap warga sekolah yang saling menghargai, memiliki kebebasan berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, kemampuan hidup bersama dengan mereka yang berbeda pandangan, dan adanya keterlibatan semua warga sekolah (termasuk siswa) dalam berbagai urusan kehidupan sekolah.

Demokratisasi pendidikan menunjuk pada upaya terus menerus (berkelanjutan) untuk membuat keseluruhan sistem pendidikan dapat bekerja secara demokratis dan efektif. Konkretnya, demokratisasi pendidikan mempersoalkan upaya untuk menjadikan berbagai kebijakan Dan praktik yang terjadi  dalam semua lini dunia pendidikan –sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi-nya – baik pada lingkup makro (nasional maupun regional) maupun mikro (sekolah),senantiasa didasarkan pada adanya partisipasi warga masyarakat (pendidikan).

Pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22 / 1999 Dan PP No. 25/2000 tersebut, merupakan momentum yang sangat baik bagi berlangsungnya demokratisasi pendidikan. Sebab, dengan dimilikinya kewenangan pengelolaan sebagian besar urusan pemerintahan di bidang pendidikan kepada Pemkab/Pemkot, ini berarti semakin mendekatkan para pengambil keputusan pendidikan di daerah dengan persoalan riil dunia pendidikan dan masyarakat pendidikan di daerah. Itu berarti pula semakin terbukanya kesempatan bagi para pengambil kebijakan pendidikan dan masyarakat pendidikan

Oleh karenanya otonomi pendidikan perlu dipahami lebih sebagai otonomi sekolah, bukan otonomi pemerintah daerah. Otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam urusan pendidikan haruslah, “sekedar” menjadi media yang memungkinkan adanya otonomi sekolah. Artinya, melalui otonomi yang dimilikinya, daerah harus berani memberikan kepada tiap-tiap sekolah di wilayahnya, kewenangan yang lebih besar/luas untuk mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Hanya apabila sekolah mempunyai kewenangan semacam itu, maka ia akan memiliki ruang kreatifitas  sekaligus bertanggungjawab yang lebih besar  dalam peningkatan mutu pendidikan yang diselenggarakannya.

Otonomi Daerah dalam bidang pendidikan melalui pintu demokratisasi pendidikan, dapat dikatakan berdaya guna manakala dapat berdampak langsung pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Dampak tersebut, pertama apabila sekolah memiliki kemandirian untuk mengatur dan mengelola kepentingan sekolah dalam mewujudkan visi dan misi dengan mempertimbangkan prakarsa dan aspirasi warga sekolah. 

Kedua, sekolah tak lagi dikelola berdasarkan rutinitas kerja yang bersumber dari  juklak dan juknis birokrasi pendidikan, tetapi terbentuk melalui sharing  pemahaman dan komitmen seluruh warga sekolah. Ketiga, model pengambilan keputusan manajerial tidak terpusat kepada kepala sekolah, tetapi pengambilan keputusan partisipatif warga sekolah dan pemercaya sekolah. Keempat, proses pengelolaan sekolah tidak lagi bertumpu hanya pada individu yang kompeten, tetapi lebih pada teamwork yang kompak, kompeten, proaktif, kreatif, dinamis dan solid.