Langkah Strategis Pengembangan Pendidikan di Sumenep

Lilik Rosida Irmawati 

Dunia hanya selebar taplak meja setiap ujungnya kelihatan. Barangkali analogi tersebut  paling pas dijadikan perumpamaan di era global saat ini. Mau tidak mau, suka tidak suka masyarakat di seluruh belahan dunia telah menjadi bsgian masyarakat lainnya tanpa ada pembatas dan sekat. 

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuka semua tabir kehidupan manusia, menguliti sedetail-detainya dinamika kehidupan serta problematika umat manusia di belahan bumi manapun.

Globalisasi, kata tersebut telah demikian menggema dan populer. Globalisasi yang berarti menyebarnya segala sesuatu yang secara sangat cepat ke seluruh dunia dan juga globalisasi dipahami sebagai melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Dengan adanya globalisasi tidak ada satupun sekat, setipis apapun yang menghalangi jarak pandang ataupun mensortir pendengaran, semuanya serba terbuka dan transparan. Berbagai aktivitas manusia, hobby, gaya hidup, musik, makanan dan pernak-pernik romansa asmara begitu mudah diakses di belahan dunia manapun, dan kemudian di tiru serta menjadi sangat di sukai serta menjadi gaya hidup di belahan bumi lainnnya.

Semuanya tergantung pada pilihan, apakah akan terseret oleh arus proses globalisasi atau malah memanfaatkan proses globalisasi tersebut? Ibarat dua sisi mata uang, dua pilihan antara membiarkan diri terseret  atau memanfaatkan proses globalisasi? Dalam menghadapi kenyatan tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, sadar atau tidak sadar, ikhlas ataupun tidak ikhlas, semuanya harus membuka mata hati, membuka diri bahwa modernitas telah menghadang dan harus dijawab pula dengan persiapan diri, baik secara individu, kelompok dan seluruh komponen bangsa untuk bersatu-padu meningkatkan kualitas diri dan kompetisi global.

Yang kemudian muncul menjadi sebuah pertanyaan adalah, apakah sistem pendidikan kita saat ini telah mampu menjawab tantangan tersebut? Apakah pendidikan yang diterapkan di tanah air tidak mengalami degradasi mutu karena strategi pembangunan pendidikan  lebih bersifat input oriented? Strategi yang lebih bersandar kepada asumsi bahwa apabila semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan materi belajar (buku-buku) dan kurikulum, penyediaan sarana pendidikan serta guru dan tenaga kependidikan maka secara otomatis lembaga pendidikan dapat menghasilkan (output) keluaran yang bermutu. 

Bukan hanya itu saja, pengelolaan pendidikan di tanah air terlalu diatur oleh jajaran birokrasi pusat dan ini berakibat ditingkat sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan seringkali terjadi apa yang diproyeksikan di tingkat pusat cenderung menyimpang dari realitas sebenarnya.

Faktor lainnya yang menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan adalah lemahnya kemampuan kepala sekolah dalam membaca arus global. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak sekali kepala sekolah di negeri ini yang tidak menguasai pengetahuan standar sebagai kepala sekolah seperti; kemampuan manajerial, penguasaan teknik kepemimpinan, menguasai teknologi informasi (komputer, internet), dan sebagainya. 

Kondisi ini masih terus terjadi lantaran di banyak sekolah, jabatan kepala sekolah tidak jarang dipilih melalui "sistem tunjuk" yang hanya didasarkan pada analisa faktor loyalitas, senioritas, ketokohan, dan kedekatan hubungan, dan mengesampingkan analisa kompetensi pribadi dan kemauan bersaing. 

Kondisi tersebut berakibat pada kultur yang tidak sehat dan menghasilkan budaya kerja yang tidak profesional serta kompetitif. Tentunya, secara makro terciptanya budaya kerja yang demikian menyebabkan degradasi mutu pendidikan, baik secara lokal maupun nasional. Dampak yang sangat nyata terpampang di depan mata dari kondisi tersebut adalah anak didik kita tidak mampu bersaing secara terbuka di era global yang serba kompetetif.